Posts Tagged ‘Mandor Klungsu’

Tokoh ini saya angkat karena memberi pesan pribadi meskipun hanya datang sekian menit dalam mimpi saya. Pesan yang tentunya masih membutuhkan proses panjang untuk dapat dimengerti dan dihidupi oleh cipta, rasa, karsa ini.

Sekilas Biografi dicopy paste dari berbagai sumber :

R.M. Sosrokartono lahir pada tanggal 10 April 1877 di Mayong. Beliau adalah anak ketiga dari delapan bersaudara putra pasangan Bupati Jepara, R.M. Aryo Sosroningrat dengan Mas Ajeng Ngasirah. Ia kakak kandung R.A. Kartini yang paling disayangi.

Raden Mas Panji Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, selama 29 tahun, sejak 1897, mengembara ke Eropa. Ia bergaul dengan kalangan intelektual dan bangsawan di sana. Mahasiswa Universitas Leiden itu kemudian menjadi wartawan perang Indonesia pertama pada Perang Dunia I. Setelah menamatkan Hogere Burger School (setingkat SMA) di Semarang. Menurut artikel Koentjoro Purbopranoto berjudul Ter nagedachtenis van Drs. R.M.P. Sosrokartono (Pemikiran-pemikiran Drs. R.M.P. Sosrokartono) yang dimuat dalam majalah Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde vol. 129 (1973), awalnya ia masuk sekolah teknik di Delft. Tidak betah, ia pindah ke fakultas sastra dan filsafat di Leiden.

Untuk masuk ke Leiden ia harus menempuh ujian negara di bidang bahasa Latin dan Yunani. Ketika dirinya pindah ke Belanda untuk meneruskan kuliah, RA Kartini adalah orang yang paling kehilangan. Selama di Belanda, RA Kartini selalu menceritakan dan meminta pendapat dari kakaknya tersebut.

Kaum bangsawan di Belanda menjulukinya Pangeran dari Tanah Jawa, DE Mooie Sos atau Sos yang ganteng. Begitulah Raden Mas Panji Sosrokartono dipanggil semasa tinggal di Eropa selama 29 tahun, sejak tahun 1987. Panggilan lain: De Javanese Prins atau Pangeran dari Tanah Jawa.

Kecakapan Sosrokartono dalam berbahasa dan bergaul adalah faktor utama yang menyebabkan orang-orang asing cepat berteman dengannya. Seniman Belanda Van Eeden dalam buku hariannya 4 Mei 1915 menulis perihal kekagumannya pada Sosrokartono. “Ia orang Jawa yang simpatik, sangat terpelajar. Ia sama sekali tidak tertutup atau pendiam. Saya lebih merasakannya sebagai bangsa saya sendiri daripada gerombolan Eropa yang berkeluyuran di Scheveningen itu,” tulis Van Eeden seperti dikutip Elisabeth Keesing dalam Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan dan Karya Kartini terbitan PT Djambatan perwakilan KITLV pada 1996.

Pembimbing utama Kartono di Leiden adalah Profesor Dr Johan Hendrik Kern, seorang Orientalis. Ia segera menjadi murid kesayangan Kern. Meski baru pindah kampus, Kern sudah menyuruhnya bicara di Kongres Sastra Belanda di Gent, Belgia, pada September 1899. Kartono membawakan pidato Het Nederlandsch in Indie (Bahasa Belanda di Hindia Belanda). Seruan patriotik agar Belanda mengajarkan bahasanya lebih luas bagi rakyat Jawa itu dimuat di majalah bulanan Neerlandia sebulan kemudian. Nama lain seperti Van Vollenhoven, guru besar ilmu hukum di Leiden dan ahli Sanskerta Speyer, serta guru besar De Groot dan Niewenhuis ikut mengajarnya, selain juga ahli bahasa Arab dan agama Islam, Snouck Hurgronje. Saat menerima gelar doctorandus dalam bidang sastra dan bahasa, Keesing menyebutkan Kartono memakai topi bulat dan kerah tinggi, laiknya politisi pada masa itu. Semua literatur tentang Kartono menyinggung kemampuannya yang luar biasa dalam bidang bahasa. Siti Soemandari dalam Biografi Kartini menyebut kemampuan bahasa Kartono mencapai 17 bahasa asing. Buku Drs. RMP Sosrokartono, Sebuah Biografi karya Solichin Salam (terbitan Yayasan Pendidikan Sosrokartono, 1979) menambah sepuluh bahasa Tanah Air ke jumlah itu. “Kemampuan inilah yang membantu perjalanan hidupnya di Eropa di kemudian hari,” Koentjoro menulis.

Studinya belum lagi selesai di Belanda ketika Kartono merantau ke Belgia, Jerman, Prancis, Swiss, dan Austria sebagai koresponden harian Amerika The New York Herald selama Perang Dunia I (1914-1918). Buku Mono Perjuangan Jiwa Besar Kaliber Internasional, Drs. R.M.P. Sosrokartono karangan Ki Sumidi Adisasmita terbitan 1972 menyebut, Kartono menjadi satu-satunya mahasiswa yang lulus tes koran itu.

Salah satu tes adalah menyingkat-padatkan sebuah berita dalam bahasa Perancis yang panjangnya satu kolom menjadi berita yang terdiri atas kurang lebih 30 kata, dan harus ditulis dalam 4 bahasa yaitu Inggris, Spanyol, Rusia dan Perancis sendiri Drs Raden Mas Panji Sosrokartono, putra Bumiputra yang ikut melamar, berhasil memeras berita itu menjadi 27 kata, sedangkan para pelamar lainnya lebih dari 30 kata. Persyaratan lainnya juga bisa dipenuhi oleh RMP Sosrokartono sehingga akhirnya ia terpilih sebagai wartawan perang surat kabar bergengsi Amerika, The New York Herald Tribune.

The New York Herald adalah koran yang diterbitkan di New York dan bertahan hidup dari 1835 sampai 1924. Pada Perang Dunia I, koran ini juga terbit dalam edisi Eropa. Surat kabar ini kemudian melakukan merger dengan The New York Tribune, menjadi The New York Herald Tribune yang terbit sampai hari ini.

Ketika bertugas dalam medan perang, Agar supaya pekerjaannya lancar ia juga diberi pangkat Mayor oleh Sekutu.. Tapi ia menolak membawa senjata. “Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. Jadi apa perlunya membawa senjata?” kata Kartono, seperti dikutip dalam naskah Drs. RMP Sosrokartono, Sarjono-Satrya Pinandita karya Amin Singgih.

Salah satu keberhasilan Kartono sebagai wartawan perang adalah ketika ia memuat hasil perundingan antara Jerman yang kalah perang dan Prancis yang menang perang. Perundingan antara Stresman yang mewakili Jerman dan Foch yang mewakili Prancis itu berlangsung secara rahasia di sebuah gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat.Ketika banyak wartawan yang mencium adanya ‘perundingan perdamaian rahasia’ masih sibuk mencari informasi, koran Amerika The New York Herald Tribune ternyata telah berhasil memuat hasil perundingan rahasia tersebut. Penulisnya ‘anonim’, cuma menggunakan kode pengenal ‘Bintang Tiga’. Kode tersebut di kalangan wartawan Perang Dunia ke I dikenal sebagai kode dari wartawan perang RMP Sosrokartono. Konon tulisan itu menggemparkan Amerika dan juga Eropa. Yang menjadi pertanyaan bagaimana RMP Sosrokartono bisa mendapat hasil perundingan perdamaian yang amat dirahasiakan dan dijaga ketat? Apakah RMP Sosrokartono menjadi penterjemah dalam perundingan rahasia tersebut? Kalau ia menjadi penterjemah dalam perundingan rahasia itu lalu bagaimana ia menyelundupkan beritanya keluar? Seandainya ia tidak menjadi penterjemah dalam perundingan perdamaian rahasia itu, sebagai wartawan perang, bagaimana caranya ia bisa mendapat hasil perundingan perdamaian rahasia tersebut? Sayangnya dalam buku Biografi RMP Sosrokartono tidak ada informasi mengenai hal ini. Namun tak dapat disangkal lagi, berita tulisan RMP Sosrokartono di koran New York Herald Tribune mengenai hasil perdamaian rahasia Perang Dunia I itu merupakan salah satu prestasi luar biasa Sosrokartono sebagai wartawan perang.

Kemampuan bahasa Kartono juga mengantarnya menjadi juru bahasa tunggal di Volken Bond atau Liga Bangsa-Bangsa, tak lama setelah Perang Dunia I usai. Tapi Amin Singgih mengutip kegeraman Kartono terhadap politik organisasi cikal bakal PBB itu, yang ia nilai tak netral.

Dia meninggalkan Jenewa, tempat Volken Bond bermarkas, dan pindah ke Prancis untuk menjadi mahasiswa pendengar di Universitas Sorbonne, jurusan psikometri dan psikoteknik. Kartono tertarik mempelajari ilmu kejiwaan setelah mendapat rekomendasi dari seorang dokter di Jenewa.Kebetulan dokter itu melihat Kartono menyembuhkan seorang anak kerabatnya, berusia 12 tahun, yang tak sadarkan diri setelah terserang demam tinggi.. Anak itu adalah anak dari kenalannya yang menderita sakit keras, yang tak kunjung sembuh meki sudah diobati oleh beberapa dokter. Dengan dorongan hati yang penuh dengan cinta kasih dan hasrat yang besar untuk meringankan penderitaan orang lain, saat itu juga beliau menjenguk anak kenalannya yang sakit parah itu. Sesampainya di sana, beliau langsung meletakkan tangannya di atas dahi anak itu dan terjadilah sebuah keajaiban. Tiba-tiba si bocah yang sakit itu mulai membaik dengan hitungan detik, dan hari itu juga ia pun sembuh.
Kejadian itu membuat orang-orang yang tengah hadir di sana terheran-heran, termasuk juga dokter-dokter yang telah gagal menyembuhkan penyakit anak itu. Sang dokter kemudian menganjurkannya sekolah di Sorbonne. Tapi Kartono tak lama kuliah di Sorbonne. Pada 1921, pemerintah Prancis mengangkatnya sebagai pegawai tinggi dengan jabatan atase Kedutaan Besar Prancis di Den Haag. Kartono membawa pulang surat pengangkatannya dan menunjukkannya kepada Ki Sumidi pada 1931.

Di periode 1920-an inilah Ki Sumidi menyebut Kartono telah menerima banyak uang hingga puluhan ribu poundsterling. Uang itu tersimpan di bank Swiss. “Hingga sekarang tak ada yang mengurus,” Ki Sumidi menulis. Cerita ini paralel dengan cerita Dahlan Abdullah kepada Mohammad Hatta. Wakil presiden pertama RI itu dalam buku Memoir terbitan Tirta Mas Indonesia pada 1979 menulis, menurut Dahlan, pendapatan Sosrokartono pada masa itu mencapai US$ 1.250 per bulan. “Dengan gaji sebanyak itu, ia dapat hidup sebagai miliuner di Wina,” tulis Hatta.

Namun berita tentang kekayaan di bank Swiss ini bertolak belakang dengan perkara utang Kartono yang disinggung Keesing. Sumber beritanya adalah pasangan Abendanon. Dan dari mereka pula berita tentang utang-utang Kartono sampai ke Jepara (baca: Hurgronje dan Sang Kakak yang Malang). Hatta mengetahui cerita Kartono dalam perjalanannya bersama Dahlan ke Wina pada Januari 1922. Menurut Dahlan, ada seorang Indonesia yang sudah lama tinggal di Wina, yakni kakak almarhum Raden Ajeng Kartini. Dahlan mengatakan, “Sosrokartono sangat pintar dan tergolong manusia jenial.” Dalam Memoir Hatta yang memuat penuturan Dahlan juga menyebut bahwa Sosrokartono tak pernah ikut serta dalam Indische Vereeniging, cikal bakal Perhimpunan Indonesia. Dahlan pun tak merasa perlu mengajak Hatta mengunjungi seniornya itu di Wina. Padahal di semua literatur tentang Sosrokartono, kakak Kartini itu disebut ikut mendirikan Indische Vereeniging di Belanda pada awal abad ke-20 itu. Solichin Salam mengutip dokumen pendirian Indische pada 1908berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging (1922) dan Perhimpunan Indonesia (1925)yang membubuhkan nama Sosrokartono bersama Hussein Djajadiningrat, Noto Soeroto, Notodiningrat, dan Soemitro Kolopaking di antaranya. Buku tipis Drs. RMP Sosrokartono, Menumbuhkan Sikap Patriotisme, Membangun Karakter Bangsa karya Aksan (terbitan Grasindo, 2005) mengutip saat Indonesische mengirim buku Sumbangsih kepada Boedi Oetomo, nama Sosrokartono terdapat di redaksi penyusun buku. Namanya juga tercantum dalam daftar dewan redaksi harian Bintang Timoer yang terbit di Belanda pada 1903, pimpinan Drs. Abdoel Rivai.

Perjalanan Sosro berakhir di Southampton, Inggris, saat ia menulis surat perpisahan kepada pasangan Abendanon dari kapal Grotius, 5 Juli 1925. Surat ini beserta dua surat lainnya dimuat di Surat-surat Adik R.A. Kartini terbitan Djambatan 2005. Dalam surat itu, De Mooie Sos yang tengah berada dalam perjalanan pulang ke Jawa memohon maaf tak sempat berpamitan kepada pasangan Abendanon yang tinggal di Amsterdam. Di Jawa, kata Kartono, “Saya bertekad memperbaiki dan menyelamatkan kehidupan saya. Ada keinginan dan kemauan, dan di atas itu ambisi, untuk menyumbangkan pengalaman-pengalaman yang telah saya dapat kepada bangsa saya.

” Pulang ke Indonesia pada 1926, ia dituduh komunis oleh pemerintah jajahan. Sosrokartono kemudian memilih mendirikan perpustakaan .Panti Sastra, di Tegal bersama sang adik, R.A. Kardinah. Kemudian ia menetap di Bandung, mendirikan perpustakaan Dar-es-salam di Jalan Pungkur 7. Ia juga diangkat sebagai Kepala Sekolah Nationale Middelbare School (Sekolah Menengah Nasional) oleh para aktivis Taman Siswa. Di perpustakaan itulah Sosrokartono kerap didatangi Soekarno, yang ingin belajar bahasa padanya.

Ia memiliki bakat supernatural sejak usia 3 tahun. Adik-adik Kartini yang mendengar kisah sang ibu menceritakan, pada suatu hari Sosrokartono mengumpulkan benda-benda mainannya. Waktu ditanya mengapa ia mengumpulkan mainannya, ia menjawab, Mau pindah ke Jepara. Beberapa bulan kemudian keluarga Sosroningrat pindah dari Mayong Rembang ke Jepara lantaran ayah Sosrokartono itu diangkat dari jabatan Wedana Mayong menjadi Bupati Jepara. Ketika masih di Prancis, Sosrokartono pernah dimintai tolong menyembuhkan seorang anak yang sakit. Sosrokartono hanya meletakkan tangan di dahi si anak dan membaca doa, sang anak sembuh. Dalam Panggil Aku Kartini Saja (Hasta Mitra, Jakarta, 1997), Pramoedya Ananta Toer menuliskan, pada 1930-an seorang dokter Belanda di RSUP (CBZ) Jakarta menulis laporan dalam salah satu koran tentang pengalamannya menyaksikan Sosrokartono menyembuhkan wanita melahirkan yang menurut para dokter tak tertolong lagi. Wanita itu sembuh setelah minum air putih yang diberikan Sosrokartono.

Kemampuan menyembuhkan kemudian semakin berkembang ketika Sosrokartono tinggal di Bandung. Ia juga pernah diundang Sultan Langkat untuk mengobati anggota keluarga kerajaan yang sakit. Sisi spiritual Sosrokartono, termasuk memberikan ajaran-ajaran hidup dalam bahasa Jawa, di kemudian hari melahirkan para pengikut. Paguyuban Sosrokartanan, komunitas pencinta Sosrokartono, kini telah ada di empat kota: Jakarta, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya. Pada setiap pengobatan, Kartono biasanya memberikan air putih dan secarik kertas bertulisan huruf Alif (singkatan dari Allah) kepada pasien. Kartini Pudjiarto masih menyimpan lukisan sederhana berbingkai kayu yang berisi goresan Alif di kertas putih pemberian Eyang Sosro. “Katanya buat jaga-jaga,” ujar Kartini. Ada pula secarik kertas putih yang berisi nasihat Eyang Sosro bertulisan “Sugih tanpa banda / Digdaya tanpa aji / Nglurug tanpa bala / Menang tanpa ngasorake” (Kaya tanpa harta/ Sakti tanpa azimat/ Menyerbu tanpa pasukan/ Menang tanpa merendahkan yang dikalahkan) yang ditempel dengan selotip di dinding. Ia juga menyimpan tongkat Kartono, yang merupakan jatah warisan keluarga yang dibagi-bagi setelah sang eyang meninggal. Air putih, huruf Alif, nasihat-nasihat hidup yang ia tulis dalam bahasa Jawa, dan laku berpuasa berhari-hari, adalah bagian dari “wajah mistik” Sosrokartono, orang Indonesia pertama yang terjun ke medan peperangan di Perang Dunia I di Eropa sebagai wartawan.

Dan pada 30 April 1930 ia mulai mengadakan penyembuhan spiritual dengan air putih yang dilakukan di tempat tinggalnya di Jalan Pungkur Bandung (sekarang Jl Dewi Sartika), yang kemudian disebut Darus Salam (Tempat Nan Damai). Orang Jawa yang berobat kepadanya menyebut beliau ‘Ndoro Sosro’, Orang Sunda menyebutnya ‘Dokter Cai’ atau ‘Juragan Dokter Cai Pengeran’ atau Dokter Alif, Orang Belanda dan Indo Belanda menyebutnya ‘Oom Sos’ dan kalangan kedokteran menyebutnya ‘Wonder Dokter’ (bahasa Belanda artinya dokter ajaib). Beliau tidak menikah, tidak punya murid dan wakil.

Pada hari Jum’at Pahing, tanggal 8 februari 1952 di rumah Jl. Pungkur No. 19 Bandung, yang terkenal dengan sebutan Dar-Oes-Salam, Drs. R.M.P. Sosrokartono kembali ke Sang Pencipta dengan tenang, tentram.
Presiden Soekarno memerintahkan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) untuk mengantarkan jenazah RMP Sosrokartono dengan pesawat terbang militer ke kota Semarang. Jenazahnya kemudian dimakamkan di pemakaman keluarga Sedhomukti di kota Kudus.

Dalam buku Biografi RMP Sosrokartono tulisan Solichin Salam, Mr Ahmad Soebardjo, mantan ketua organisasi Perhimpunan Indonesia di Belanda, berkomentar kalau Drs Sosrokartono memang luar biasa di segala bidang kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Sosrokartono senantiasa dicurigai oleh penjajah karena pengaruhnya di masyarakat Indonesia sangat besar. Dan Drs Sosrokartono dapat dibanggakan sebagai Putra Indonesia Sejati.

Kutipan komentar Prof Mr Muhammad Yamin tentang RMP Sosrokartono,

“..seorang putera Indonesia yang pernah berjuang, menderita dan mendapat kemenangan sampai pulang ke pangkuan bumi di makam Sedhomukti, setelah bekerja dengan menggerakkan perbagai tenaga untuk kebahagiaan manusia dan kemajuan bangsa. Bapak Sosrokartono adalah penganjur orang berilmu yang mengendalikan tenaga jasmani dan rohani untuk kebahagiaan Indonesia dan dunia, “

Kutipan komentar Bung Karno tentang RMP Sosrokartono.

“..Drs Sosrokartono almarhum adalah salah seorang sahabat saya dan beliau adalah seorang putera Indonesia yang besar, “

Bpk Ahmad Soebardjo, Bpk Muhammad Yamin dan Bung Karno adalah pahlawan-pahlawan Indonesia.